Kembali ke soal peluang, maka sesungguhnya hal yang
terpenting dari maju dan tidaknya ternak kelinci secara modern (dari hulu ke
hilir =dari kandang ke pasar) sangat membutuhkan pasokan ilmu pengetahuan yang
kuat, motivasi yang handal serta komitmen menjadi usahawan kelinci sejati.
Pengalaman di lapangan membuktikan, bahwa kemiskinan ilmu pengetahuan lebih
berbahaya ketimbang kemiskinan materi (modal uang). Kita harus mendudukkan
bahwa kebodohan dan kemiskinan ini adalah ratai kasar, belenggu, yang harus dilepaskan
terlebih dahulu. Tetapi kalau keduanya tidak bisa dilepaskan seketika, maka
saya akan mengusulkan lebih penting melepaskan belenggu kebodohan terlebih
dahulu, baru kemudian kita melepaskan kemiskinan.
Strategi konkretnya untuk meraih sukses sebuah peternakan di
kalangan kaum tani bisa kita mulai dengan pemberdayaan di beberapa orang,
maksimal 10 orang. Dari 10 orang ini saja mesti dibutuhkan leadership yang
handal. Jika tidak ada leader dari salahsatu peternak tersebut dipastikan sulit
berkembang karena biasanya dalam masa sulit peternak pemula yang kurang tangguh
sering gulung tikar. Dengan ada leader yang kuat, diharapkan mereka yang gulung
tidak tidak mempengaruhi peternak lain yang belum berkembang bagus.
Dalam skala memulai usaha ternak bersama dengan jumlah lebih
sedikit, yakni 3-5 orang manajemen kontrol barangkali lebih mudah. Dengan pola
kecil merayap tetapi serius ini, diharapkan tingkat kerugian lebih kecil.
Manajemen ini saya ajukan sebagai pola konservatif, tetapi memiliki resiko yang
kecil. Memang sedikit agak lambat, tapi lebih aman. Sedangkan bagi yang
menginginkan gerakan lebih cepat saya ajukan usulan untuk beternak sendiri
terlebih dahulu selama satu sampai 1,5 tahun, baru kemudian menularkan modal
bibit ke peternak lain. Selama masa setahun ini kita bisa menggaulkan orang
terdekat untuk menimba ilmu pengetahuan. Baru kemudian diseriuskan ke arah
peternakan yang lebih banyak dan dibesarkan.
Adapun untuk peternak yang memulai usaha untuk sendiri
barangkali lebih mudah karena tidak perlu memobilisasi ilmu kepada orang lain.
Ternak individu adalah langkah awal yang lebih efektif. Berniat sendiri,
bermodal sendiri, kreatif sendiri, menggembleng pemikiran dan etos kerja
sendiri adalah pilar dasar yang paling baik. Setelah kelak sukses barulah
kemudian ilmu pengetahuan dan pengalamannya ditularkan. Selama tidak pelit dan
memiliki semangat sosial yang tinggi, orang seperti ini akan menjadi panutan
banyak peternak lain, sebagai contoh adalah Asep Sutisna, ketua Paguyuban Peternak
Kelinci di Lembang Bandung atau Ren Zuping dari China.
Kenapa ilmu pengetahuan menjadi penting?
Kita bisa berkaca pada dunia pertanian (tradisional) dan
agribisnis(wirausaha tani modern). Di sana memang terletak jurang permodalan
yang sangat besar, tetapi di luar modal sesungguhnya ilmu pengetahuan menjadi
pembeda yang paling substansial untuk menyatakan bahwa pertanian itu identik
dengan kemiskinan sementara agribisnis sarat dengan kemakmuran dan stabilitas
penghasilan. Dalam peternakan modern (terkait dengan konsep domestifikasi
ternak kelinci ini), maka kita pun mesti berpikir demikian.
Kita sering berpikir bahwa memelihara kelinci itu mudah
karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan kelinci. Logika itu sangat
menyesatkan karena kelinci umbaran terbukti tidak menghasilkan nilai ekonomis
yang baik. Di sini kita harus memperhatikan apa itu domestifikasi peternakan.
Beberapa hal yang penting ialah bahwa, pertama perawatan kelinci secara
domestik adalah memenjarakan kelinci (hewan liar) dalam sebuah kehidupan yang
sempit. Kita mesti memakai pola kehidupan yang membuat kelinci benar-benar nyaman,
senang dan kerasan, terhindar dari stress sehingga mampu berproduksi secara
baik.
Satu hal ini saja seringkali diabaikan. Terlihat di berbagai
kandang petani kebersihan, pasokan makanan dan kenyamanan sering diabaikan.
Karena itulah saya sering melihat kenyataan ini mengakibatkan tingkat
produktivitasnya rendah dibanding dengan peternak yang benar-benar berilmu dan
berpikir maju.
Kedua, dari berbagai praktik peternakan, ternyata mereka
para peternak yang bertahan lama memiliki rasionalitas dan etos kerja yang
baik. Rasionalitas dalam hal ini bukan semata diukur kecerdasan akademik,
melainkan lebih pada sikap sungguh-sungguh dalam belajar dan serius menerapkan
teori-teori sekaligus kreatif dalam mengatasi setiap masalah, terutama dalam
hal problem pakan dan kesehatan.
Jadi masalahnya bukan terletak pada bakat/waris atau tidaknya, melainkan bagaimana bersungguh-sungguh dalam menerapkan paradigma ternak yang berpijak pada ilmu ternak. Karena itu kalau bicara ideal tentang pemberdayaan awal ternak di suatu desa yang belum memahami ternak kelinci domestik mestinya akan lebih bagus jika dirintis lebih sedikit orang tetapi dalam setahun kemudian mampu memproduksi banyak kelinci, baik untuk bibit masyarakat sekitar maupun untuk pembukaan usaha pasca panen.
Dengan kesuksesan satu orang itu saja, kita tidak butuh
meyakinkan secara lisan bahwa kelinci memiliki potensi. Masyarakat kita adalah
masyarakat berpikir empiris. Manakala diceritakan secara lisan maupun tulisan
mereka tidak akan yakin dan fatalnya jika melihat kesuksesan itu secara
fenomenologis, mereka menganggap diri mereka sudah mahir dan langsung tancap
gas. Akibatnya sering fatal. Tetapi manakala sudah melihat secara empiris dalam
kurun waktu yang cukup lama, berbulan-bulan, dengan sendirinya mereka akan
menyaksikan bagaimana proses dan kesuksesan itu berjalan secara sebanding.
copy dari
https://kelinci.wordpress.com/2009/11/02/paradigma-dasar-ternak-kelinci/
Komentar
Posting Komentar